Cebong & Kampret masuk sejarah


Akhirnya tanggal 17 April yang ditunggu-tunggu tiba. Menunggu pemimpin lima tahun mendatang. Yang dijago-jagokan pendukungnya. Yang jadi junjungan. Sampai dibela mati-matian. Menghujat sang lawan dengan segala cara. Dengan serangan kata. Selama berbulan-bulan, bahkan sebelum masa kampanye mulai. Jadi harapan saya, setelah pilpres ini sebutan cebong dan kampret bisa segera usai. Sudah begitu banyak menguras energi. Bahkan membelah rakyat menjadi semakin lebar. Dimana dulu diusulkan pemilu serentak untuk dapat menghemat anggaran negara, sekarang malah cost ini menjadi jauh lebih mahal karena social impactnya bisa terbawa hingga bertahun-tahun. Tatanan social yang sejak 1998 diperbaiki hingga cukup baik, sekarang menganga kembali. Sungguh disayangkan.

Pemilu Indonesia yang sekarang termasuk pemilu paling akbar, paling besar, paling kompleks di seluruh dunia. Karena melibatkan jumlah pemilih 193juta orang, jumlah TPS 810.329 yang tersebar di 34 provinsi dan dengan calon legistlatif sebanyak sekitar 245 ribu orang. Wow.

Saya nyoblos di TPS 44 kecamatan Bubutan Surabaya karena KTP saya masih yang terdaftar di alamat rumah nenek saya. Karena sejak sejak lahir sampe umur 23 tahun tinggal di sana. Jadi agak malas mau ngurus perubahan alamat meski sudah pindah domisili 😊. Rencana awalnya mau sampe di TPS jam 9an, ternyata kesiangan karena subuhnya habis nonton Liga Champions Barca vs MU. Dan hasilnya sudah bisa ditebak, MU kalah. Diobrak-abrik Messi.

Begitu sampe di TPS langsung saya serahkan form undangannya, cukup lama dipanggilnya sekitar 20 menit-an. Tidak langsung kayak pilgub kemarin. Mungkin juga penyebabnya karena banyak warga yang lama di bilik mulai buka lembaran sampe nyoblos, bingung mau nyoblos yang siapa, dan ini kertas untuk apa aja. Tapi dari awal saya sudah tahu bakal nyoblos capres yang mana, lalu untuk DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota dan DPD. Jadi relatif cepat. Sekitar 2 menit.

Sepulang nyoblos, saya sudah gak sabar nunggu hasil quick count yang baru boleh rilis jam 3 sore sesuai dengan putusan MK. Padahal di stasiun tv sudah ready diskusi dengan para direktur Lembaga-lembaga survei yang terdaftar di KPU. Semua sudah gak sabar, apalagi menjelang 10 menit menuju jam 3 sore. Semakin penasaran.

Dan jam 3 sore pun datang. Lembaga-lembaga survei tersebut langsung rilis hasil quick count. Data yang sudah masuk di mereka sekitar 50%. Macem-macem jumlah samplingnya. Ada yang 6000 TPS, ada yang 2000 TPS. Tapi mereka bisa mempertanggungjawabkan akurasinya, mencapai minimal 99%. Karena margin of errornya hanya 1% bahkan kurang. Muncul angka-angka yang menyebutkan bahwa pasangan Jokowi-KH Ma’aruf Amin +/- 55% dan Prabowo-Sandi 45%. Hampir semua Lembaga survei menampilkan angka yang mendekati. Rata-rata sama. Dan mereka bisa meyakini datanya akurat dan berani declare bahwa secara quick count, pasangan 01 pemenang pilpres.

Pak Prabowo menyangkal hitungan quick count dan menunggu hitungan KPU. Seharusnya ini benar. Tidak masalah. Dari Pak Jokowi juga mengadakan konferensi pers. Menyatakan sudah melihat hasil quick count dari televisi dan meminta pendukungnya menunggu hitungan KPU.

Saya rasa di awal statement, para pemimpin ini sudah sangat benar. Sangat bijak. Mengeluarkan pernyataan yang menenangkan pendukungnya.

Namun tidak lama kemudian, Pak Prabowo mendeklarasikan kemenangan berdasarkan quick count internal yang angka-nya cukup jauh dari Lembaga survei independent. Sekitar 63%. Bahkan diulangi lagi, deklarasi dengan didampingi Sandiaga Uno.

Dari pihak Pak Jokowi juga membuat konferensi pers juga, tidak secara langsung menyebutkan kemenangannya tapi dari kata-kata yang disampaikan bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa itu adalah penekanan bahwa beliau menang.

Dugaan saya salah, ternyata ini belum selesai. Masih ada sekuelnya. Berlanjut, setidaknya satu bulan mendatang hingga hitungan resmi dari KPU dirilis. Dan masih ada kemungkinan bila ada pihak yang tidak setuju, maka akan banding ke MK. Tambah sebulan lagi.

Ini seperti ulangan tahun 2014. Tapi kenapa harus diulangi lagi? Apakah belum cukup mengkotak-kotakkan bangsa hanya gara-gara pilpres? Apakah godaan kekuasaan harus mengorbankan sebegini banyaknya? Demokrasi yang sudah dimulai dari tahun 1998 yang cukup berkembang pesat ini, yang sudah membuat rakyat semakin peduli dengan politik dan hukum jangan malah diajak mundur lagi oleh para politikus-politikus dan para pemimpin bangsa. Sebuah kerugian besar.

Saya lihat di media social, istilah cebong dan kampret masih disebutkan. Miris. Sudah terlanjur terpecah. Pasti butuh waktu lagi untuk merekatkan ini semua. Cepat lambatnya tergantung pemimpin dan kedewasaan masyarakat. Tidak bisa hanya dengan menghimbau. Harus ada aksi nyata. Berbagai kegiatan yang bisa menyatukan kembali.

Mau bagaimanapun, cebong dan kampret sudah masuk dalam sejarah demokrasi Indonesia. Meninggalkan jejak. Terutama jejak digital. Semuanya sudah terlanjur. Yang bisa diharapkan adalah system demokrasi dan pemilihan umum yang lebih baik. Tidak lagi hanya memikirkan dari segi keuangan tapi juga dari dampak sosialnya.

Semoga di pemilu kali ini bisa memberikan pendidikan politik yang baik, semakin dewasa dalam ber-demokrasi. Yang menang mampu merangkul yang kalah. Yang kalah, dengan kebesaran hati menerima dan bersama-sama membangun bangsa lebih maju dan lebih baik.




Comments

Popular Letter