Sang Penjaja Warta
Setiap hari saya
beli koran. Sejak dulu. Jawa Pos koran favorit saya. Saya lebih suka beli di
Bapak-Bapak penjual koran pinggir jalan daripada abonemen bulanan, karena pikir
saya sekalian bantu mereka dapat penghasilan. Jawa Pos dapat untung,
Bapak-Bapak itu juga dapat untung untuk menyambung hidup. 😊
Dulu punya
langganan Bapak-Bapak di area Simo, karena setiap hari kerja lewat sana dan
waktu itu jalur cepat naik motor ya lewat situ. Lalu, saya ganti rute lewat Jalan
Kedungdoro, karena harus antar mama kerja. Punya langganan koran juga. Dan sejak
3 tahun terakhir sampe sekarang, ganti rute lagi karena naik tol langsung lewat
HR Muhammad. Punya langganan juga.
Namanya Pak Wawan.
Usianya 43 tahun. Asli Lumajang. Pak Wawan jualan pas di lampu merah Mayjend Yono
Seowoyo itu. Yang terkenal macetnya panjang itu. Tapi durasi lampu hijaunya
juga panjang jadi begitu nyala, antrian tadi juga habis. Disusul antrian
berikutnya…heheheh..
Karena durasi lampu
hijaunya cukup lama, makanya waktu untuk berhenti beli koran agak repot. Kalo
berhenti sebentar aja bisa diklakson mobil belakang, plus belakangnya lagi, dan
belakangnya lagi..
Jadi, saya cari
akal supaya gak dimarahin orang banyak. Ketemu ide ya mirip drive thru. Saya
janjian sama Pak Wawan, jadi saya klakson, buka jendela, kasih uang, Pak Wawan
kasih koran. Awal-awal belum hafal mobil saya, tapi sekarang sudah terlatih,
hafal, dan kecepatan tangannya untuk barter uang dengan koran tadi. Sekarang,
saya lihat banyak yang niru…hehehehe…
Pak Wawan sudah
jualan koran lama, seingatnya sejak ruko-ruko di jalan Mayjend Yono Soewoyo itu
dibangun. Selalu dengan wajah yang ceria. Sumringah. Di bawah terik matahari.
Meskipun juga puasa. Meskipun pernah dihutang oleh supir taksi sampai 75ribu.
Itu kalo dikonversi ke eksemplar koran Jawa Pos, sama juga 15 eksemplar. Tetap
tidak mengeluh. Ada juga yang ngasih uang lebih, tidak mau kembalian. Jadi dia
anggap itu gantiin yang dihutang sama sopir taxi tadi. Ikhlas. Pernah juga di-cengkiwing orang yang potongannya
seperti aparat. Ngalah. Maklum, hanya Wong Cilik katanya. Berikutnya, mobil itu
dihindari sama Pak Wawan..hehehhe..
Tapi cobaan itu
belum apa-apa.
Yang paling mengguncang
hidupnya adalah pada waktu kerja di pabrik plastic, di Surabaya. Kejadiannya 2
tahun sebelum berjualan koran. Tangan kanannya putus tepat di pergelangannya terpotong
mesin. Setelah itu, dia sangat putus asa. Hidup tanpa harapan. Setahun tidak
keluar rumah. Malu. Minder ketemu orang lain dan teman-temannya. Tanpa arah. Dihibur
siapapun. Dengan cara apapun. Tidak mempan.
Namun, suatu
momen. Pak Wawan akhirnya sadar, tangan kanannya tidak akan pernah kembali lagi.
Meskipun menangis selama setahun tersebut. Harus mengubah keadaan. Bangkit. Tidak
bisa meratapi terus.
Akhirnya memulai
kerja lagi, memberanikan diri. Bekerja di proyek bangunan, dimasukkan oleh
saudaranya. Diterima, tapi mandornya tidak tahu. Setelah 3 hari kerja, ketahuan.
Dikeluarkan, bukan karena sembunyi-sembunyi, tapi kondisi fisiknya yang cacat
tadi. Pak Wawan sadar, bahwa fisiknya akan jadi penghalang bagi penerima kerja.
Nyoba lagi
kerja, di pabrik roti. Di surabaya. Namun karena sifatnya job order,
penghasilannya tidak tetap. Kadang-kadang kerja, kadang-kadang nganggur.
Padahal ada keluarga yang harus dihidupi sehari-harinya. Pak Wawan terus
berpikir gimana caranya bisa dapat penghasilan rutin. Ketemu jalan, jualan
koran. Seperti kakaknya. Dan, hingga hari ini Pak Wawan masih jualan koran. Hasilnya
kalo habis, bisa 50-60ribu per hari. Tidak banyak, tapi setiap hari ada. Gitu kata
Pak Wawan, dengan senyum.
Wong Cilik, tapi
besar hatinya, luas maafnya, lebar senyumnya, tak bertepi ikhlasnya.
Comments
Post a Comment