Sarapan Inspirasi
Kalo tentang
sarapan, saya paling santai. Tidak ketergantungan, tidak harus makan, tidak
harus ada, tidak wajib. Karena dari kecil sudah tidak terbiasa sarapan. Dari TK
sampe kuliah sarapannya paling cuma minum susu dan atau makan roti. Dulu nenek
saya yang selalu nyiapin. Jadi lambung saya dan pikiran saya sudah menyesuaikan.
Tidak kelaparan meski tidak makan pagi. Tidak limbung pas sekolah, kuliah
bahkan kerja. Tidak bingung mikir tiap hari harus mau sarapan apa. Menurut
saya, ini salah satu keuntungan juga karena energi dan pikiran pagi tidak
diperas duluan cuma gara-gara nuruti lidah dan lambung. Toh sampe hari ini (
untungnya ) masih sehat-sehat aja…hehehehe
Tapi saya punya
menu sendiri untuk “sarapan”saya. Kalo dulu, perjalanan dari rumah ke kantor
atau sebaliknya suka dengerin radio entah itu music atau berita lalu lintas.
Sekarang ada
menu baru. Namanya Podcast. Mungkin ada yang belum tahu apa itu podcast. Bagi yang
belum tahu, gampangnya gini. Media ini mirip radio, tapi kita semua bisa buat
channel sendiri. Mau isinya apa aja bebas. Rekaman pake HP pun bisa juga. Kayak
youtube tapi ini versi audio.
Awalnya saya taunya
dari channel youtube Raditya Dika kalo ada media ini. Akhirnya download Spotify.
Cari podcast. Nah, yang suka saya dengerin kontennya ada beberapa. Radit,
Pandji Pragiwaksono, Handry Satriago sama Yasa Singgih.
Konten-konten mereka
bagus-bagus. Informatif. Inspiratif. Bisa nambah ide sama untuk self
development juga. Karena yang dibahas kan beda-beda juga dari orang-orang itu,
jadi saya juga dapet ilmunya bervariasi.
Khusus untuk
konten Yasa, ini lebih banyak tentang sharing pengalaman hidup dan bisnisnya.
Btw yang belum tahu siapa Yasa Singgih, dia ini anak entrepreneur muda yang punya
line bisnis sepatu Men’S Republic. Pernah masuk juga di Forbes 30 under 30.
Hebat.
Nah, ada satu
konten yang asik banget. Judulnya #10 Metta Ratana, Entrepreneur “Jenius”IPK
4.0.
Jadi ceritanya,
Yasa ini lagi ngobrol atau bisa dibilang interview sama temen kuliahnya dulu
yang jenius. Namanya Metta. Jadi Metta ini, temen kuliah Yasa yang lulus dengan
IPK 4.0. Pasti pinter banget kan.
Tapi Metta ini
dikenal baik juga sama temen-temen yang lain. Bahkan sangat baik. Itu yang buat
temen-temennya menilai klo Metta ini sempurna lah. Sudah pinter, baik lagi.
Yasa mulai
ngulik cerita hidupnya Metta dan ternyata, dari SD sampe SMA rangking 1 terus. Secara
konsisten. Wow.
Durasinya cukup
lama ya sekitar 1,5 jam an. Saya dengerinnya 3 x perjalanan ke kantor baru
selesai. Tapi gak terasa. Malah kurang…hahahaha
Lalu apa yang bisa
buat dia bisa se-konsisten itu?
Nilai yang
dipegang oleh Metta ini bagus banget. Yaitu do your best. Lakukan yang terbaik,
semaksimal mungkin. Berikan hasil di atas ekspektasi.
Tapi kok bisa konsisten
kayak gitu?
Yang penting
menurut Metta adalah mindset dan disiplin.
Apa pernah gak
masuk sekolah atau kuliah?
Pernah, itupun
kalo sakitnya sudah bener-bener gak bisa ditahan lagi. Tapi kalo masih kuat ya
Metta tetap usahakan masuk sekolah dan kuliah. Jadi kebiasaan-kebiasaan dan
cara berpikir seperti itu yang membuat kita bisa push our limit.
Ada poin penting
berikutnya yang disampaikan yaitu sikap dan berbuat baik. Karena hal itu bisa
membuat lingkungan atau orang-orang yang deket bisa kasih dampak positif juga ke
kita.
Jangan-jangan
karena dipaksa orang tua ?
Ternyata enggak,
bahkan orang tua Metta kalau pas raport-an yang ditanya nilai perbuatannya
bagus atau enggak, bukan rangking berapa.
Dan juga yang
bikin saya kagum juga adalah ternyata prestasi akademik itu atau gelar atau
ijazah itu bukan untuk nyari kerja. Supaya bisa kerja di kantor yang bagus atau
perusahaan-perusaahn besar. Padahal ya gampang banget kan kalo mau kerja di
mana aja dengan modal nilai segitu plus attitude yang oke pula.
Tapi ternyata
enggak, tawaran kerja ditolak. Metta malah bisnis sendiri. Dan sekarang masih
lanjut S2 ( otw IPK 4.0 juga ). Dan tetep pengen nglanjutin usahanya yang sudah
dirintis. Jadi ijazah mentereng itu gak dipake sama Metta.
Lalu kenapa
sekolah tinggi-tinggi dengan nilai bagus klo gak dipake ?
Jawabannya bagus
lagi. Dalam mindsetnya, pendidikan formal tetep perlu untuk membuat kita punya
pola pikir yang benar, lebih terstruktur jadi trial & errornya tidak tinggi.
Jadi bukan buat ijazah atau gelar.
Dan masih banyak
lagi value-value hidup yang bisa didapet selama saya dengerin podcast ini.
Saya memang
belum ketemu langsung atau bahkan kenal dengan Yasa dan Metta ini ( semoga kapan-kapan
bisa ketemu dan kenal )..hehehe.. Tapi aura dari mereka ini positif banget.
Jadi kalian bisa
dengerin di spotify, search Yasa Singgih. Nama podcastnya A Conversation With
Yasa Singgih. Di situ ada banyak juga konten-konten yang bisa bermanfaat buat
kita.
Semoga tulisan
ini juga bermanfaat 😊
Sumber gambar : Spotify/YasaSinggih
Comments
Post a Comment