Media Sosial, Tekanan Hidup & Judgement


Sosial media menjadi raja atau ratu. Semua mata menuju memandangnya. Tidak lepas dari gadget. Bahkan TV pun sudah jarang ditonton.

Sosial media menjadi pedoman sebuah kesuksesan.

Sosial media menjadi pedoman sebuah kebahagiaan.

Sosial media menjadi pedoman sebuah kesempurnaan.

Setiap mau posting di sosial media, yang diharapkan adalah jumlah like yang banyak, jumlah view, jumlah follower, jumlah subscriber. Tapi itu sudah menjadi rahasia umum meskipun banyak yang menyangkal. Niat awal yang ingin share moment atau ekspresi. Menjadi ajang show off. Menampilkan yang sudah dibagus-baguskan plus kata-kata mutiara. Tapi itu hak setiap manusia. Yang menjadikan tekanan atau sudah tidak sehat adalah ketika memaksakan diri untuk selalu tampil baik, sempurna, menjadi idaman setiap orang yang melihatnya.

Itu akan jadi pressure buat diri sendiri. Dan bisa menjadikan stress berlebihan karena menuntut diri sendiri untuk tampil yang tidak semestinya dan semampunya.
Memaksakan diri demi dilihat baik orang lain. Apalagi demi membuktikan kepada haters atau orang-
orang yang tidak kita sukai. Jadi kita hidup agar dipuji oleh orang yang sebetulnya tidak kita sukai.

Itu dari sisi yang upload.

Berbeda lagi dari sisi yang melihat postingan. Sudut pandangnya berbeda. Namun pressure-nya bisa jadi lebih besar.

Kita follow atau subscribe orang-orang yang kita anggap sebagai sosok yang ingin kita ketahui kehidupannya. Atau bisa juga yang bisa memberikan motivasi dan informasi.
Kita melihat kesempurnaan atau sisi ideal atau impian kita. Banyak sekali hashtag-hashtagnya.

#relationshipgoals #couplegoals #familygoals #fashiongoals #bodygoals #lifegoals #entrepreneurgoals #financialgoals dan goal-goal lainnya.

 Pressurenya ada ketika membandingkan dengan apa yang kita miliki. Apa yang kita jalani. Berbeda 180 derajat. Yang sana liburan ke Dubai, kita masih belanjanya di Indomart. Itupun setelah gajian.
Yang sana foto di rumah yang bagus catnya, interiornya, ada kolam renang, taman, gazebo sedangkan kita masih foto di kamar rumah kontrakan yang cat temboknya sudah mengelupas.

Yang sana punya pasangan hidup yang perhatian, candle light dinner, ganteng atau cantik, foto welfie di depan pantai sambil gandingan tangan. Kita punya pacar atau pasangan hidup yang sukanya pake celana pendek, sandal jepit, gak romantis, jarang make up, lemak dimana-mana.

Belum lagi, kalo yang sana posting baru buka bisnis ini itu, punya kantor yang bagus, ketemu dengan orang-orang top, belum lagi yang lagi ngetrend share isi saldo ATM. Sedangkan kita, kerjanya jaga warung atau toko material yang panas, saldo ATM minimal.

Jika tidak bisa mengendalikan pikiran dan mental, maka akan menjadikan itu pressure. Yang keras sekali. Kalau tidak tertangani dengan baik bisa menggapai impiannya dengan segala cara. Supaya bisa “dipamerkan” di media sosialnya. Supaya dapat like yang banyak dan dipuji orang.

Yang tidak kalah kejamnya adalah comment.

Semakin ke sini, semakin banyak yang menjadi orang yang suka sekali menjadi hakim bagi kehidupan orang lain.

“ Kok begini ya..kok begitu ya..harus gini say, harusnya gitu cynn..loe harus gini bro, yang bener gini bro..” dan lain-lain. Masih banyak lagi kalimat-kalimat preachy.

Belum lagi judgement hanya dari postingan, bahwa orang itu salah, baik, jahat, tidak bermoral, tidak beragama, tidak beretika, tidak sopan dan lain sebagainya seolah-olah yang ngejudge adalah manusia paling benar dan paling sempurna di dunia.

Apakah semudah itu memberikan penilaian terhadap orang? Padahal kita sendiri tidak tahu 100% tentang orang itu, tentang kehidupan sehari-harinya bagaimana, tentang perilaku sehari-harinya bagaimana, apa yang dipikirkan saat itu, kondisinya pada saat itu bagaiamana. Kita tidak tahu.
Karena mengetik itu mudah. Maka mungkin saja, memang semudah itu nge-judge orang.

Apakah sesulit itu jika kita tidak menghakimi kehidupan orang ? dan kemudian dengan mudahnya berkata “ Saya sih gak ada maksud gitu ya, terserah yang nerima gimana..” atau semacamnya. Itu seperti habis lempar pisau dan nancep ke dada orang terus cuci tangan.

Segitu gampangnya menilai, menarik kesimpulan lalu menghakimi. Lihat sekilas, mikir sebentar ( atau mungkin juga tidak ), ketik, lalu send.

Tidak sadar bahwa apa yang diucapkan itu bisa mempengaruhi psikologis orang tersebut. Bagi “hakim” tersebut mungkin hanya 1-2 menit, tapi bagi yang menerima judgement tersebut bisa terbawa bertahun-tahun. Ada yang depresi. Ada yang bunuh diri.

Wajar jika depresi, karena “hakim-hakim” tadi datangnya rombongan dan bertubi-tubi dan bisa juga setiap hari.
Tidak sedikit sekarang banyak yang “puasa” media sosial, menghapus akun, bahkan sudah tidak menggunakan media sosial sama sekali demi kesehatan jiwa dan ketenangan hidupnya.

Media sosial memang bisa jadi lahan besar untuk meraih popularitas, meraih pundi-pundi uang.
Namun dibalik itu semua menyimpan sisi gelap yang sangat kejam dan tajam. Semua memang punya dua sisi, apapun itu. Seperti pisau, bisa digunakan untuk memotong buah segar tapi bisa juga melukai. Tergantung bagaimana kita menggunakannya. 

Jadi untuk menggunakan sosial media tidak hanya butuh modal kuota yang banyak, tapi mental yang kuat dan telinga yang tebal.  ðŸ˜Š



Comments

Popular Letter