Brad's Status
Film ini rilis
tahun 2017 yang lalu, cukup lama memang. Tidak booming. Bukan box office. Bahkan
sampai saat ini di HBO pun tidak ditayangkan. Saking tidak suksesnya. Tidak terkenal.
Tidak banyak orang yang nonton.
Sayapun nonton
di pesawat. Bukan di bioskop.
Brad diperankan
oleh Ben Stiller. Komedian. Tapi akhir-akhir ini banyak main di film drama.
Brad, seorang
pekerja di organisasi non profit yang mencarikan investor untuk Lembaga sosial.
Usia sekitar 45an. Punya istri, satu anak yang menjelang menjadi mahasiswa. Status
ekonominya cukup. Tidak terlalu kaya. Jauh dari pra sejahtera. Apa-apa masih
tercukupilah bisa dibilang.
Namun ada satu
kegusaran yang sangat mengganggu Brad. Tidak percaya diri. Pada saat bertemu reuni
dengan teman-teman SMAnya dulu. Karena ada 3 dari temannya, menjadi politisi
yang sukses sekali. Populer. Sering muncul di televisi.
Kemudian teman
yang satunya lagi menjadi pengusaha sukses sekali. Tinggal di Hawaii, menikmati
hidup dari hasil kerjanya. Plus dua istri yang cantik.
Lalu, ada satu
lagi temannya yang menjadi kepala redaksi di majalah mode terkenal.
Kehidupan
teman-temannya langsung terbayang di dalam pikiran Brad. Menari-nari.
Melanglang jauh, membayangkan kehidupan mereka seperti apa.
Hingga tidak
bisa tidur.
Istrinya bertanya,
kenapa. Brad menjelaskan kegelisahannya. Sang istri dengan sangat enteng
menjawab. Hidup kita sempurna. Sangat baik. Tidak kekurangan sama sekali. Apa
yang membuatmu gelisah? Karena kamu tidak menjadi bagian dari orang-orang 1 %
itu? Maksudnya orang superkaya yang menguasai ekonomi dunia.
Hingga suatu
saat, Brad harus mengantarkan anaknya untuk memilih kampus kuliah. Anaknya sangat
berharap bisa daftar di Harvard. Dan sedang menjalani seleksi interview. Jadi
harus ke sana.
Sesampai di kota
Massachussets, anaknya bertemu dengan teman-temannya yang lain. Yang lebih dulu
masuk ke sana. Akhirnya mereka ngobrol di sebuah bar, bersama Brad tentunya. Salah
satu teman dari anaknya bertanya apa pekerjaannya. Dan Brad menjelaskan dia
bekerja dimana, dan bagaimana tujuan perusahaannya apa. “Itu luar biasa, mulia
sekali”. Teman anaknya sangat excited mendengarkan cerita Brad. Bahkan dia pun
nantinya ingin bekerja seperti yang Brad lakukan.
Anaknya turun dari tangga rumah. Dan berteriak
“Saya diterima di Harvard”. Brad dan sang istri gembira bukan main. Akhirnya
ada sesuatu yang bisa ia banggakan dalam hidupnya.
Tapi setelah
membuka mata. Ia sadar. Itu barusan hanya mimpi.
Paginya, Brad mengantar
anaknya ke Harvard untuk interview. Setelah ditunggu beberapa lama, anaknya
muncul. Dengan lunglai. Bilang kalau dia salah jadwal. Seharusnya interviewnya
kemarin.
Impian Brad di
depan mata pupus. Apa yang ia bakal banggakan bakal sirna. Semakin menegaskan
bahwa dia hanya laki-laki biasa. Tidak ada yang special dalam hidupnya.
Brad marah besar
ke anaknya. Kemudian dia lalu kembali ke bar tersebut dan tidak sengaja bertemu
dengan teman anaknya itu. Dia menyarankan ke temannya itu bahwa jangan menjadi
seperti dirinya. Kejarlah uang, ketenaran dan sebagainya. Si Teman mulai antipati
ke Brad. Tidak lagi melihat Brad sebagai sosok yang keren.
Pikiran Brad
mulai kacau.
Dalam imajinasinya,
dia mulai membayangkan jika dia memiliki pasangan yang ambisius dan tidak
menikah dengan istrinya yang sekarang mungkin akan sukses. Kaya, popular,
disegani orang, berpengaruh, dan diidolakan banyak wanita.
Dalam hatinya
dia sangat iri kepada teman-temannya. Menuju benci. Karena dia tidak bisa
seperti mereka.
Tapi masalah
anaknya mau masuk Harvard ini harus diselesaikan dulu. Dia ingat bahwa temannya
yang politikus itu adalah dosen juga di Harvard, mungkin dia kenal dengan dewan
yayasannya dan bisa membantu. Dia akhirnya dengan berat hati, menghubungi
temannya itu untuk minta bantuannya agar interview anaknya bisa dijadwalkan ulang.
Dan memang
benar, tidak lama kemudian dikabari bahwa anaknya bisa interview besok.
Menghadap langsung ke Dekan.
Sebagai tanda
terima kasih, Brad mengajak ketemuan di sebuah resto. Dengan berat hati. Karena
dalam hatinya sangat enggan ketemu dengan temannya itu. Meskipun sudah
menolongnya.
Akhirnya mereka
bertemu, basa-basi ini itu. Dan tiba-tiba di pertengahan obrolan, Brad bilang
tidak bisa melanjutkan obrolannya. Dan Brad meninggalkan temannya begitu saja. Temannya
bingung. Ada apa dengan Brad.
Di akhir cerita,
Brad tetap menjalani kehidupannya seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Menjalani
rutinitas hariannya.
Terlihat
menggantung ya? Tidak happy ending? Memang. Kadang kehidupan memang begitu.
Ceritanya
mungkin sangat sederhana, tidak ada konflik yang berlebihan. Tidak ada romansa
yang mengharukan. Apalagi efek visual. Flat. Sangat Flat.
Tapi dalam scenario
yang flat itu, bagaimana adegan-adegan itu dimainkan. Maknanya sangat dalam.
Konflik yang pelik
bukan dengan orang luar. Tapi dengan diri sendiri. Pergulatan batin.
Pertarungan pikiran dan hati.
Pesan yang mau
disampaikan oleh film ini sangat kuat. Jika sadar. Dan tidak terkesan
menceramahi lewat dialog. Penonton diajak untuk berpikir sendiri. Introspeksi.
Bukan diajari. Bukan diceramahi.
Salah satu film
drama yang sangat membekas. Cukup mengoreksi sikap saya untuk menghadapi hidup.
Meskipun tidak
mudah bagaimana BERSYUKUR dan MENERIMA kehidupan nyata. Saya juga sedang
belajar. Bahwa hidup ini tidak sempurna. Tidak indah. Tapi bagaimana kita bisa
membuat kesempurnaan dan keindahan itu di tengah-tengah ketidaksempurnaan ini.
That’s the
point.
Comments
Post a Comment