Sukses Masa Gitu ?

 Sekitar sebulan atau dua minggu terakhir ini banyak lalu lalang postingan baik di Instagram maupun Youtube membahas tentang, Usia 25 tahun sudah punya apa? Lebih spesifik lagi banyak yang kontennya usia 25 tahun sudah punya tabungan sekian ratus juta bahkan Miliar. Salah atau tidak memang tergantung dari cara kita melihatnya, plus juga tendensi sang pembuat konten – menurut saya. Karena kita seharusnya bisa membedakan mana yang edukatif dan mana yang sebenarnya cuma mau pamer. Pasti beda cara menyampaikannya.

Tapi sebenarnya apa tolok ukur sukses itu? Memang paling mudah adalah yang paling dilihat kasat mata yaitu kekayaan alias harta. Seberapa besar rumahnya, punya mobil Lambo atau cuma sekedar motor supra fit, outift yang puluhan juta atau cuma pakai kaos partai. Secara umum yang diyakini khalayak orang banyak memang begitu. Jadi banyak yang mengejar status atau kadang hanya tampilan semata demi bisa dibilang “Orang Sukses”.

Kalau orang tersebut bener-bener punya semua itu ya tidak masalah, nothing to lose saja mau dibilang sukses atau tidak. Bahkan malah yang super sukses tidak mau diekspose. Tapi sekelompok orang yang memaksakan diri agar bisa dibilang “sukses” itu yang pasti tersiksa. Menyiksa batin dan kantong.

Semakin hari memang semakin mengkhawatirkan, apalagi media social seperti mempersilahkan itu semua tampil. Diberi panggung setinggi-tingginya, selebar-lebarnya. Semua berlomba menampilkan sisi baik kehidupannya sekalian memamerkan aib nya jadi satu. Saya tidak menyalahkan media social. Namanya juga media, cuma wadah untuk menampung. Yang mengendalikan adalah kita sendiri. Baik yang upload maupun yang mencerna.

Pasti banyak yang bilang, tergantung kita menjadikan itu motivasi atau tidak. Memang betul, tidak salah. Coba cek sekali lagi kontennya. Apa bener menginspirasi atau mengintimidasi? Ada dua hal yang membedakan jelas. Jika menginspirasi, pemilik konten tersebut melakukan dua hal, pertama adalah mengedukasi bagaimana caranya agar bisa seperti dia. Dengan detail. Karena orang yang sukses pasti tahu caranya dan metodenya sehingga memungkinkan untuk diikuti atau diduplikasi. Yang kedua, dia menjelaskan privilegenya. Mengakui bahwa dia memiliki “keuntungan” jika dibandingkan orang lain yang mungkin tidak seberuntung dia. Tidak banyak yang mau mengakui privilege tersebut. Bedanya dengan yang mengintimidasi apa? Dia hanya menunjukkan hasil akhirnya saja, tidak menjelaskan proses detailnya bagaimana, caranya bagaimana, dan sebagainya. Pokoknya ceritanya hanya ZERO to HERO. That’s it. Ujug-ujug jadi kaya…wkwkwkkwk

Lalu sukses itu harusnya seperti apa?

Sebetulnya sukses itu punya versi sendiri-sendiri. Tiap orang berbeda-beda. Seharusnya. Kenapa saya bisa bilang begitu ? Karena memang proses kehidupan orang pasti beda. Garis startnya beda. Kebutuhan hidupnya beda. Tanggungjawabnya beda. Background pendidikan beda. Kondisi keluarga beda. Belum lagi yang tidak kalah penting, adalah factor luck tiap orang juga beda.

Misalnya, Si A umur 25 tahun pekerjaan Office Boy di sebuah kantor. Si A adalah anak sulung dari 3 bersaudara, orang tuanya tidak bekerja lagi. Otomatis jadi tulang punggung keluarga, selain bekerja dia juga harus kuliah dan menyekolahkan adik-adiknya. Apakah itu sukses? YES. Tidak semua mau dan mampu memikul tanggung jawab sebesar itu. Bahkan meskipun uang tabungannya paling 1juta atau bahkan tidak ada.

Kemudian, Si B umur 25 tahun. Pendiri sebuah komunitas pengajar untuk anak-anak tidak mampu. Si B sebelumnya adalah anak berandal, bermasalah dan sebagainya. Apakah Si B bisa dianggap sukses? YES. Dia sukses mengubah perilaku, akhlak dan moralnya serta tujuan hidupnya.

Saya beri contoh lagi. Si C, umur 25 tahun bekerja sebagai staff di sebuah bank.  Ayahnya sopir angkot dan Ibunya Asisten Rumah Tangga. Si C berjuang keras, pagi siang dan malam belajar hingga dapat beasiswa hingga lulus menjadi sarjana. Apakah Si C sukses ? YES. Dia sukses mengubah jalan hidup keluarganya menjadi lebih baik. Mengangkat kehidupan keluarganya.

Mereka tidak punya Lamborgini atau Porche dan rumah mewah. Tidak juga punya tabungan ratusan juta apalagi miliaran. Namun apa yang mereka lakukan itu juga tidak bisa dirupiahkan. Terlalu naif jika kesuksesan seseorang itu dinilai dari apa yang dimiliki dan terlihat kasat mata saja. Yang terkadang mata kita bisa tertipu.

Akan menjadi sangat bijaksana jika kita tidak memandang rendah status ataupun kondisi social sesorang. Mengerdilkan peran dan keberadaan orang yang tidak mewah tersebut.

Tapi dunia yang kita tinggali tidak sebijaksana itu. Mengagungkan yang berharta, memandang sebelah mata yang biasa saja. Menjadi diri sendiri dan cuek terhadap itu semua menjadi sangat sulit. Karena umum sudah menganggap itu sebagai parameter. Jika kita mengabaikan itu semua, seolah-olah kita terkucilkan dari komunitas atau kelompok social kita. Semua orang berjuang agar bisa diterima sebagai seorang manusia yang berharga di muka bumi ini. Jack Ma pernah bilang, “jika engkau tidak memiliki apa-apa maka sebaik apapun yang kamu katakan tidak akan didengarkan, tapi jika engkau memiliki segalanya, kentut pun akan disambut dengan tepuk tangan”. Serendah itu memang cara pandang dunia ini.  

Jadi stop lihat konten-konten yang mengintimidasi. Fokus saja apa yang sedang kita kerjakan. Waktu kita akan tiba. Semua punya jalur masing-masing. Punya waktu masing-masing. Punya hasil akhir masing-masing. Tidak perlu memaksakan diri. Tidak perlu panik. Fokus. Fokus. Fokus.



Comments

Popular Letter