Baliho Lalu Lintas

 Saya sangat sadar, ini masih bulan Agustus tahun 2021. Pasti semua orang juga begitu, siapa yang tidak ingat hari ini tahun berapa. Tapi pada waktu menyetir, lewat jalan-jalan utama kok kelihatan baliho-baliho yang seharusnya belum waktunya ya? Saya coba ingat-ingat lagi, apakah dalam waktu dekat ini ada pilkada lagi? Seharusnya tidak ada. Pilwakot surabaya juga sudah beres, pilgub juga belum waktunya. Lagipula tokoh yang terpampang di baliho itu kapasitasnya juga bukan untuk pilkada.

Hari demi hari, sepertinya kok balihonya tambah banyak dan semakin berdekatan. Selama perjalanan rumah dan kantor ada lebih dari 7 buah. Saya memang tidak menghitung secara pasti, tapi kurang lebih sebanyak itu. Hanya di jalan tol saja yang tidak ada. Kebetulan baliho tersebut dominan warna merah.

Tidak lama berselang, muncul lagi baliho yang dominan warna hijau dengan gambar besar tokohnya. Juga berdekatan dengan yang warna merah meskipun tidak secara langsung bersebelahan. Eh besoknya, tiba-tiba nongol yang warna kuning. Sekali lagi, mereka tidak bersebelahan tapi seperti tiga baliho itu mengisi hampir ruang kosong jalanan. Selalu ada. Coba Anda juga amati. Warnanya pun serasi, merah kuning hijau. Persis lampu lalu lintas. Ups…😊

Setiap melihat baliho-baliho itu, cuma bisa geleng-geleng kepala sambil mencoba melawan antara mata yang harus lihat ke depan dan hati yang ingin menghindari. Berusaha mlengos ( Bahasa jawa dari membuang muka ) dan berkata dalam hati “halah”, apalagi membaca jargon-jargonnya yang normatif.

Saya paham dan pastinya para ahli ataupun pengamat politik lebih paham. Bahwa politisi ini sangat perlu popularitas, elektabilitas. Sangat paham. Sangat mengerti. Tapi itu kan masih 3 tahun lagi. Masih lama. Eh itu bagi kita mungkin lama, tapi bagi mereka yang terburu-buru pasti 3 tahun itu kurang. Mungkin. Tapi saya yakin, kalau timing untuk personal branding itu sudah lewat proses survei dan analisa yang matang. Apalah kami para rakyat yang tidak mengetahui data-data itu. Mereka jauh visioner.

Sedangkan kami rakyat biasa, hanya memikirkan besok kerja di mana? Anak istri makan apa? Lewat jalan mana karena jalan utama ditutup selama PPKM. Itu-itu saja yang kami pikirkan. Kami tak sanggup memikirkan 3 tahun ke depan. Kami kurang memikirkan sejauh itu.

Saya juga tidak berani riset berapa harga tiap titik satu baliho itu. Lalu mengalikannya dengan yang saya lewat saja meski saya tidak perlu kalkulator untuk tahu hasilnya. Tidak tega.

Sudahlah, masalah Rupiah itu urusan mereka. Entah itu uang dari mana dan siapapun. Analisa saya berpindah ke tentang efektifitasnya. Maklum, orang jebolan Accounting plus Manajemen selalu berpikir ke efisien dan efektif…wkwkwk. Jaman digital sekarang, efektifkah menggunakan baliho? Kenapa tidak lewat media sosial? Yang jauh lebih murah bahkan. Dan juga kita tahu swing voters tiap pilpres ataupun pilkada adalah milenial. Milenial lihat HP, bukan lihat baliho.

Tapi sekali lagi, itu pasti sudah dianalisa juga. Apalah saya yang rakyat biasa ini.

Saya cuma membayangkan dan bakal ketawa jika nanti pada waktunya sudah benar-benar dekat, tiba-tiba personal brandingnya menjadi milenial. Pakai jaket bomber dan jeans, main challenge-challenge yang viral,  belum lagi tiba-tiba suka workout..wkwkwkk…ups saya terlalu jauh membayangkan. Maafkan, saya bukan mereka yang sangat visioner. Saya ini saja masih bingung besok mau ajak mama saya sarapan nasi sate kelapa, coto makassar atau nasi campur tambak bayan. 😊



  

Comments

Popular Letter