One Club Man
Hegemoni itu sudah berubah menjadi industri. Rivalitas juga berubah menjadi partner. Tidak ada psywar panas. Sejarah betul-betul hanya menjadi bumbu. Romansa harus disisihkan. Loyalitas seperti harga yang sangat langka. Mungkin sebentar lagi juga punah.
Tanda-tanda itu sudah dimulai
sejak Totti. Pangeran Roma dipaksa pensiun oleh klub yang dibelanya sejak kecil
itu. Tidak pernah pindah klub, meskipun digoda begitu kuat oleh klub raksasa
Real Madrid di era keemas an karirnya. Totti tidak goyah sedikitpun. Kota dan
klub yang begitu dicintainya, memaksa Totti meneteskan air mata dengan panggung
yang tidak selayaknya untuk sosok sebesar Totti.
Casillas adalah korban
berikutnya. Menjaga gawang Real Madrid sejak usia 19 tahun. Meneruskan
kedigdayaan Real di kancah Eropa dan Liga Spanyol. Posisinya tidak tergantikan
oleh siapapun meski skuad Real pernah begitu berlimpah nama-nama besar hingga
disebut Los Galaticos. Hingga generasi Los Galatiocs itu semuanya pensiun, dia
masih berada di bawah mistar Real Madrid.
Tapi apa yang didapat di akhir
karirnya? Tidak ada perpisahan yang layak untuk legenda hidup Real Madrid itu.
Tangis yang pecah pun penuh kesedihan daripada kebanggaan.
Messi menjadi “dinasti” terakhir
dari itu semua. Di Injury time, dia harus berpisah dengan Barcelona. Messi ada
di klub itu sejak belajar menendang bola. Dan ironis, Messi “ditendang” secara
halus dengan alasan Financial Fair Play. Meskipun Messi tidak dibayar sama
sekalipun, itu tidak menolong Barcelona.
Aneh.
Tapi mungkin memang situasinya
sudah harus berubah. Semuanya menjadi komersil, agar roda organisasi klub tetap
berjalan bahkan lebih besar. Memang harus dibuang romansa-romansa jaman dulu.
Pertandingan derby ataupun duel klasik yang sarat emosi dan pride tidak akan ada lagi. Benturan, tekel-tekel keras, hingga duel antar pemain yang harus dilerai tidak akan bisa kita tonton lagi. Semuanya lebih adem. Friendly. Sportif.
Pemain-pemain One Man Club yang memang pasti termakan usia pilihannya hanya dua, pensiun atau pindah klub. Jika memang secara fisik masih dirasa kompetitif maka pilihannya adalah pindah klub. Dan juga pastinya masih butuh pemasukan besar. Bisa ke liga yang lebih kecil seperti MLS, China, Qatar, dll.Kendalanya memang ada dua juga.
Dengan usia yang tidak lagi muda, tidak akan mampu lagi bermain full musim yang
semakin tahun semakin ketat persaingannya. Sehingga memang harus tersingkirkan
dari line up dan juga bench. Diganti pemain yang lebih muda. Lebih
multitasking.
Secara keuangan juga tidak
mungkin menggaji ikon klub dengan bayaran yang minim, sedangkan pemain muda
gajinya sudah selangit – bahkan langit ke tujuh…wkwkwkk. Ini akan menjadi beban
keuangan klub juga yang dituntut mem-balance-kan antara pemasukan dan
pengeluaran.
Semuanya menjadi serba sulit.
Dilema. Baik klub dan pemain. Sama-sama tidak punya banyak pilihan. Sama-sama
harus ikhlas. Sama-sama harus tega.
Karena klub juga terus dituntut
meraih banyak gelar. Menang. Supaya apa? Dapat uang.
Bukan hanya hadiah dari
penyelenggara tapi juga lebih mudah untuk menarik sponsor. Ujung-ujungnya Duit.
Uangnya terus diputas untuk dapat yang lebih besar lagi. Terus menggelinding
seperti bola salju.
Situasi ini membuat fans gibol
pasti kecewa. Tapi para gibol juga harus realistis. Inilah kenyataan
industrinya. Meskipun terkadang rindu dengan atmosfer sepakbola yang dulu,
tahun 90an dan 2000an awal.
Living Legend sekarang terpaksa
berpindah-pindah seperti musafir.
Comments
Post a Comment