Gawang Sandal

 Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya punya ciri khas yang mirip-mirip. Rakyatnya banyak, fasilitas publiknya terbatas. Sekolah tidak punya lapangan yang memadai, bahkan ada yang tidak punya lapangan. Belum lagi di Ruang Terbuka Hijau juga jarang ditemui lapangan basket ataupun sepakbola yang bisa dipakai anak-anak ataupun remaja bermain.

Tapi inilah kelebihan anak-anak yang hidup di negara yang terbatas. Punya kreativitas tinggi.

Kita tahu, sepakbola itu olahraga paling digemari di Indonesia. Tapi coba lihat fasilitasnya. Minim. Jadi ya sebagai anak kampung seperti saya ya nikmati saja seadanya. 😊

Tidak ada lapangan, mainnya ya di jalan.

Tidak ada lapangan, mainnya ya di kampung.

Tidak ada lapangan, cari lahan di kampung orang…wkwkwkwk

Bagaimana sama ukuran lapangan ? Sesuai standard?

Ya enggaklah, lapangan aja carinya setengah mampus apalagi mikir ukuran. Ukurannya disesuaikan sama jumlah pemain. Kalau pemainnya 5x5 atau 6x6 ya dipanjangin. Kalau Cuma 3x3 ya dibuat pendek. Simple kan.

Bolanya pun bola plastik. Ringan, tidak rusak kalau dibuat main di aspal ataupun paving. Dan pastinya murah.

Gawang pun gitu. Tidak ada tiang, sandal pun jadi…wkwkwkk. Kadang-kadang sepeda dibalik pun bisa jadi gawang.

Makanya sering kalau main, sebutan untuk main bola ini kami bilang “Gawang Cilik ( Kecil )”

Ukuran lebar tergantung sandal. Ukuran tinggi tergantung tinggi kipernya..ini yang sering jadi kontroversi dan tidak ada VAR. Pakai ilmu kira-kira.

Alas kakinya? Pakai sepatu ? Ya gimana pakai alas kaki, sandalnya aja dipakai buat gawang.

Jadi jari berdarah karena “gasruk” aspal itu sudah masuk dalam paket resiko pemain bola kampung seperti saya.

Main bola sambil kaki berdarah itu sudah biasa. Normal. Biarin aja dulu, nanti dirumah baru dicuci atau dikasih plester.

Terus gak takut infeksi? Kami lebih takut gak bisa main daripada infeksi..wkwkwk

Toh buktinya, sampai sekarang kami semua tumbuh normal. Kakinya juga masih utuh.

Semua jenis lapangan sudah pernah kami coba. Aspal jalan raya, paving perumahan, plester jalan kampung. Meskipun di situ ada polisi tidurnya. Coba bayangkan main bola di lapangan yang ada polisi tidurnya.

Selain polisi tidur, tantangannya banyak. Ada selokan. Bola masuk rumah orang. Kendaraan lewat. Diusir sama penghuni rumah. Banyak lah.

Air Selokan itu sudah kayak body lotion buat kami. Kalau sudah nyemplung di selokan, dan karena bolanya terus dipakai ya otomatis nempel di sekujur kaki, belum lagi nempel di baju kalau pas ngontrol bola pakai dada. Agak – agak gimana gitu tapi ya enggak kita ambil pusing.

Kaki agak gatal? Jelas…wkwkwkkw

Belum lagi kalau bolanya nyasar masuk rumah orang, ini yang harus sabar. Kita harus manggil-manggil pembantu atau pun yang punya rumah..”Mbak, bola…”

Hampir setiap hari antara jam 3 sore kami pasti main bola. Pulang sebelum maghrib.

Lawannya bisa teman sendiri atau anak kampung lain. Untungnya tidak pernah sampai ada tawuran atau bertengkar meski lawan tanding sama kampung lain. Paling ya tensi naik-naik dikit tapi tidak sampai pukul-pukulan.

Untuk tim saya yang terdiri dari sekitar anak seumuran meski beda RT, sama “kakak senior” atau lebih tepatnya kelompok Karang Taruna RW yang umurnya selisih bisa 10 tahun di atas, kami dipanggil Kurcaci. Karena selain masih bau kencur ( saat itu masih SMP-SMA ) dan juga secara postur memang tidak ada yang tinggi.

Skuad saat itu ada Bagong ( Reza ) di penjaga gawang, Bek ada saya dan adik saya ( citto ), tengah ada Osama ( Rizal ), dia dipanggil Osama karena sering pakai kaos Osama Bin Laden…wkwkw. Dia sebagai box to box kalau istilah sekarang. Ada playmaker terbaik kami, Nyozz ( Dian ). Di penyerang kami punya Arman ( ini the best striker era kami ) karena positioning dan finishingnya topppp. Dan kami punya Ronaldo Nazario Da Lima ( Ronaldo gundul ), namanya Adi..gocekannya maut sampai seringnya gocek, sering kami marahi..wkwkwkwk

Tim kami cukup rata skillnya, ada Angger yang serba bisa. Jadi kiper oke, jadi bek oke jadi pemain tengah juga oke. Ada Fajar sebagai supersub. Dan Upit, penyerang tengah. Kalau sekarang ya kayak Lukaku lah…wkwkwk

Kurcaci ini sangat disegani baik di lingkungan RW maupun regional ( lingkup pemain di balai kota Surabaya )…karena Tiki-Taka kami sulit dikalahkan…😊

Nah, saya lupa cerita. Tiap hari Minggu pagi, kami bangun subuh dan main di lapangan parkir balai kota Surabaya yang saat itu masih boleh dibuat jualan dan main. Lapangannya tetap sama, aspal. Namanya juga lapangan parkir. Gawangnya juga dari sandal.

Anak kampung seperti kami memang harus kreatif, dengan segala keterbatasan yang ada kami selalu cari solusinya.

But anyway. Masa kecil dan remaja kami memang mungkin tidak bergelimang harta. Tapi kami tahu bagaimana kami harus tetap tertawa dan bahagia. Cukup dengan gawang sandal, kami sedikit lupa dengan kerasnya dunia. 


 

 

 

Comments

Popular Letter