Jejak Margomulyo

Saya tahu seharusnya tidak boleh terlarut dalam kesedihan ini. Papa memang sudah berpulang besok tepat 100 hari. Tapi selalu muncul rasa “nyess” di dada ini ketika selalu teringat Papa. Yang biasanya mondar-mandir di rumah, sekarang sudah tidak ada lagi. Yang biasanya duduk termenung di ruang makan, sekarang kursi itu kosong.

Dan setiap ingat itu, saya tidak bisa berhenti menyesali diri sendiri, menyalahkan diri. Kenapa begitu sering saya marah kepada Papa beberapa bulan terakhir ini. Saya sangat menyesal. Saat itu mungkin saya begitu marah kepada Papa atas segala perbuatannya yang tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan, kini kemarahan itu berbalik pada diri sendiri atas kebodohan saya saat itu.

Lebih sering saya mengingat kekurangan Papa daripada pengorbanannya.  Saya begitu bodoh, tidak dewasa.

Saya seperti diingatkan Tuhan. Lebih tepatnya “dihukum” agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ketika saat itu saya ada dalam perjalanan untuk mengembalikan tabung oksigen yang saat itu saya pinjam dari teman adik saya untuk Papa dan harus lewat Jalan Tandes. Satu kompleks dengan Jalan Margomulyo, kawasan industry di Surabaya.

Tiba-tiba ingatan ini mundur jauh ke lima belas tahun yang lalu. Papa pernah bekerja di sebuah pabrik korek api. Produknya mirip dengan korek Zippo tapi impor dari Cina, tepatnya dari kota Harbin. Usianya waktu itu sudah 60 tahun lebih. Masih bekerja, meski dengan gaji tak seberapa. Kami juga paham bahwa Papa masih dapat kesempatan bekerja karena dibantu oleh kerabat di Vihara.

Waktu itu keuangan keluarga dalam keadaan darurat, Mama juga terpaksa menerima tawaran menjadi Kepala Sekolah di luar kota. Jadi pintu pekerjaan buat Papa sudah menjadi berkah buat kami. Semuanya demi menyambung kehidupan keluarga.

Berangkat jam 7 pagi naik bemo Lyn MLK, karena waktu itu sepeda motor dipakai adik untuk kuliah. Untuk mencapai lokasi pabrik itu, turun dari angkot Papa masih harus jalan sejauh kurang lebih 800 meter lagi. Melawan hempasan debu. Menguatkan kaki melangkah di atas paving block yang tidak rata, berjalan di tepi jalan menghindar dari truck dan kendaraan yang menyalipnya. Terbayang panas sengat matahari,  jauh dan melelahkan untuk pria lanjut usia. Begitu juga pada saat pulang. Harus berjalan sejauh itu lagi. Belum lagi harus berdiri menunggu angkot yang bisa lebih dari 30 menit. Betapa letih raganya.

Papa menjalani pekerjaan itu 6 tahun dengan ikhlas tanpa mengeluh.

Saya ingat betul pernah suatu saat, Papa membuka dompetnya yang coklat lusuh menunjukkan selembar merah rangkap ke-2 slip gajinya yang dibawa pulang saat itu. Sisa gaji Papa setelah ada potongan ini itu karena pinjaman pribadi untuk keperluan hidup kami, bahkan tidak cukup untuk beli indomie satu karton. Saya menangis dalam hati.

Karena Papa cukup kenal dekat dengan pemilik pabrik tersebut, jadi terkadang Papa diminta tolong oleh pemilik pabrik tersebut untuk mengirimkan dupa sembahyang dan juga makanan untuk satpam maupun anjing penjaga pabrik. Saya cukup sering diajak untuk ke sana. Biasanya antara 2x sebulan di weekend sore ataupun malam.  

Papa bukan orang yang suka bercerita tentang pekerjaannya. Sangat jarang.

Saya bertekad jika sudah bekerja, target pertama saya adalah Papa harus pensiun. Saya yang harus memikul keluarga. Dan memang itu terwujud di tahun 2009. Lega bisa melihat Papa tidak perlu lagi berjalan sejauh itu setiap hari.

Sangat tidak tega melihat laki-laki lanjut usia harus terus mengeluarkan peluhnya. Sudah saatnya istirahat. Di rumah, menonton TV, makan, menikmati hari tuanya.

Tapi kini Papa sudah tiada. Percuma. Kenapa yang semua berawal dari perhatian berubah menjadi kemarahan?

Kenapa jejak yang tertinggal di Margomulyo itu seolah terhapus dari ingatan?

Waktu memang berjalan terlalu cepat. Jeda dari Papa jatuh hingga meninggal hanya terpaut 1 bulan. Covid di periode itu lagi gila-gilanya. Menyulitkan mencari ambulance, oksigen, perawat dan rumah sakit. Entah kenapa waktu tampak begitu sedikit. Hingga akhirnya Papa hanya bisa dirawat di rumah dengan semampu kami.   

Di saat-saat hembusan nafas terakhirnya, saya membisikkan “ Tugas Papa sudah selesai..terima kasih buat semuanya ya Pa, Papa jangan khawatir..Nyo-nyo ( panggilan saya di keluarga ), Cece dan Citto yang jaga Mama. Papa pergi dengan tenang ya..”

Sekarang saya hanya bisa mengenangnya. Mendoakannya dari jauh. Semoga Papa bahagia dan tenang di sana.



 

 

Comments

Popular Letter