Manajemen Mie Godhog
Lapar, Lucu, Luar biasa. Mungkin 3 kata itu yang pas waktu saya dan teman-teman kantor ke Jogja hari Sabtu malam kemarin. Memang short trip, hanya 2 hari 1 malam. Berangkat jam 6 pagi dari Surabaya, tempat jujugan pertama kami ke Candi Prambanan, sekitar hampir 2 jam di sana. Lalu objek berikutnya Obelix Hill, kami menikmati spot-spot instagrammable. Sampai hotel di Jogja jam 6 malam.
Perjalanan menuju hotel sudah
hujan lumayan deras. Sesampai di hotel, langsung check in dan mandi-mandi dulu.
Sekitar jam 8an, kami sebagian sudah
berkumpul di lobby hotel, berunding mau makan malam di mana. Rencana awal mau
makan dan nongkrong di Malioboro, tetapi hujannya cukup deras sepertinya tidak
memungkinkan ke sana apalagi membawa anak kecil.
Sekitar 50 meter dari hotel ada warung
mie godhog. Kami pikir pas lah hujan-hujan begini makanan hangat yang berkuah. Karena
rombongan lumayan besar, 27 orang termasuk anak kecil. Tapi yang ikut makan
malam di warung hanya 24 orang saja karena 3 teman yang lain lebih memilih di kamar.
Sebagian yang sudah siap,
langsung menuju warung. Sedangkan saya dan sebagian menyusul karena masih cari
pinjaman payung hotel.
Warungnya sederhana. Tempatnya di
pelataran sepertinya sebuah kantor. Hanya ada 2 meja makan lalu ada ruangan
seperti kamar ukuran 3 x 3 meter.
Nah, sesampai di warung saya
lihat temen-temen kloter yang berangkat dulu sudah masuk di ruangan itu. Sebagian
masih antri untuk order.
Penjualnya di warung itu ada satu
Bapak kira-kira usianya 50 tahun lebih dan satu Bapak lagi sekitar 60 tahun-an.
Dan satu Ibu juga usianya sekitar 50 tahun lebih yang jadi juru masak.
Kami order makanan, menunya ada mie
godhog, mie goreng nyemek, mie goreng, capcay, bihun godhog, bihun goreng.
Selesai kami pesan, kami
mengobrol ngalor ngidul sambil melihat hujan yang belum ada tanda-tanda
berhenti sama sekali. Dan mengatur rencana berikutnya enaknya mau nongkrong di
mana.
Sekitar 15 menit berlalu. Pesanan
teman-teman kloter 1 banyak yang belum datang, jangankan makanan, minuman pun
belum ada yang dibuatkan. Malah sebagian pesanan dari kloter 2 yang datang.
Saya coba menoleh ke belakang
melihat kesibukan “dapur” warung. Saya lalu melihat bapak yang menerima pesanan
tadi, kelihatan bingung mencari-cari catatan kecilnya. Tatapannya kosong.
Feeling saya tidak enak.
Pasti ada yang salah.
Setelah saya coba lihat catatan
di kertas kecil itu, ada pesanan yang kloter ke 2. Lalu catatan yang kloter 1
tadi dimana ? Saya coba bantu cari kertas-kertas lainnya. Siapa tahu terselip. Tidak
ketemu.
Ternyata TIDAK DICATAT
!....wkwkwkwkk
Mau tidak mau saya membantu bapak
itu mencari catatan lain, saya coba cari di buku biru. Saya buka halamannya
satu-satu. Tidak ada juga.
Akhirnya saya bantu catat ulang
semua pesanan kloter pertama. Lalu saya gabung dengan pesanan yang kloter kedua.
Supaya ringkas dan si Ibu tahu harus masak apa dan berapa porsi.
Ada lagi kendalanya. Kompor dan
wajannya cuma satu. Jadi sekali masak ya cuma bisa satu jenis.
Setelah saya bantu rekap
pesanannya apa saja, si Ibu mulai memasak sesuai urutan yang saya tulis. Si
Bapak saya minta mulai membuat pesanan minuman yang sudah saya catat juga di
buku.
Perlahan pesanan mulai selesai
satu per satu, meskipun ada yang mau membatalkan pesanan karena sudah terlalu
lama, wajar karena beberapa teman mengajak anak-anaknya bahkan yang masih
balita. Si anak pasti sudah rewel kelaparan. Jangankan anak, yang sudah tua aja
rewel kalau lagi lapar…wkwkwkk
Akhirnya pesanan semua bisa terselesaikan
complete. Meskipun bertahap. Jadi yang sudah selesai makan, bisa
langsung balik ke hotel.
Masalahnya belum selesai sampai
di situ. Sekarang waktunya pembayaran. Bapaknya bingung lagi mesti ngitungnya
dari mana. Sebagian kloter tadi ada yang
sudah bayar.
Untungnya yang bayar dicatat. (ciri
khas orang Indonesia, selalu ada untungnya)
Saya bantu pemilik warung tadi
untuk hitung totalannya berapa. Berdasarkan rekap pesanan tadi. Kami jumlah
semua dulu. Setelah itu baru dikurangi dengan yang sudah bayar.
Selesai juga drama mie godhog ini…wkwkw.
Bapak dan Ibu tadi berterima
kasih sekaligus meminta maaf kalau tidak nyaman karena menunggu terlalu lama.
Karena kejadian itu, langsung ingat bahwa di level kecil pun ilmu manajemen ini penting sekali. Kalau belajar dari kasus ini bahwa tidak ada pembagian tugas yang jelas, apa dikerjakan siapa. Kemudian pencatatan pesanan maupun uang masuk juga tidak dilakukan dengan benar. Belum lagi, siapa yang menjadi leader itu juga penting sebagai pengambil keputusan ataupun inisiatif di saat krisis.
Saya tidak masalah, malah saya
anggap ini pengalaman lucu. Sekaligus membuktikan pengalaman manajemen saya kalau
bisa juga manage yang skala warung. 😊
Memang benar kata pepatah, kenangan
dan pengalaman itu tak ternilai.
Comments
Post a Comment