Jembatan

Kalau ada, dianggap biasa saja. Kalau tidak ada, diidam-idamkan.

Bisa banyak hal. Dan, salah satunya jembatan.

Untuk kesekian kalinya, saya mendengar sebuah kata puluhan kali. Tidak lama ini. Kira-kira dua minggu terakhir. Entah itu di podcast, youtube, waktu ngobrol. Pokoknya sering.

Kejadiannya sama persis dengan yang lalu. Second chance. Kali ini, keyword nya jembatan. Dalam hati, kok kejadian lagi ya? Kok unik? Apa orang lain pernah mengalami juga?

Bahkan kata jembatan ini pun bisa saya jadikan dua materi tulisan. Yang ringan dan yang serius. Karena saking banyaknya topik yang mengandung unsur jembatan tadi…wkwkwkwk

Setelah dipikir-pikir sambil ngelamun – seperti biasa. Jembatan ini krusial fungsinya. Tapi orang kadang sering lupa berterima kasih.

Secara umum, jembatan ini menghubungkan satu tempat ke tempat yang lain. Terutama di bawahnya itu air. Sungai, selat atau laut. Tinggal beda jaraknya saja.

Materialnya pun beda-beda. Ada yang dari susunan balok kayu, bambu, sampai ke yang paling kokoh,beton.

Sekali lagi, semua tergantung situasi dan kondisi yang dihubungkan. Kalau pendek, ya cukup pakai susunan kayu, yang lewat tapi sangat terbatas jumlah bebannya. Jika yang dihubungkan jauh, misalnya antar pulau ya tidak mungkin pakai bambu. Harus beton.

Setelah dipikir-pikir sambil ngelamun - lagi. Filosofi jembatan ini cukup dalam.

Jembatan ini bisa bergeser objeknya. Dari fisik riil jembatan, menjadi manusia. Kok bisa ?

Coba dilihat lagi, banyak pekerjaan manusia yang tugasnya itu jadi jembatan. Misalnya, diplomat, humas, psikolog, konselor, juru bicara, wasit, mak comblang dan masih banyak lagi.

Backgroundnya sendiri ada dua, menurut ( lamunan ) saya.  

Pertama, ada dua objek yang ingin saling menuju ke suatu tempat tapi tidak bisa. Sama-sama saling ingin tahu, di seberang ada apa. Di situlah dibutuhkan penghubung. Supaya dua objek tadi bisa lihat.

Mungkin kalau profesi, mirip mak comblang tadi ya. Dari orang yang mungkin saling tidak kenal, tidak tahu. Karena ada jembatan, akhirnya ketemu.

Bisa juga peran humas, bisa menjelaskan kejadian dari dua sudut pandang. Sehingga kedua belah pihak jadi saling tahu informasi ataupun alasannya karena apa. Tidak jadi salah paham.

Kedua, ada dua objek yang sama-sama tidak mau tahu. Sama- sama mau menang sendiri. Berdiri tetap di tempatnya. Tidak bergerak. Tapi sebetulnya saling membutuhkan.

Profesi yang tepat untuk situasi ini ya wasit. Bisa menengahi. Jadi yang sini tidak perlu nyeberang ke sono, yang sono tidak perlu nyeberang ke sini. Berdiri di tengah-tengah jembatan.

Tidak ada yang merasa dikalahkan. Tidak ada yang merasa paling menang. Fair.

Apa sulit jadi jembatan? Jelas. Apa berat jadi jembatan ? Pasti.

Bisa dibayangkan, mempertemukan dua objek jadi satu itu kan bukan tugas yang gampang. Harus mengerti kebutuhannya masing-masing. Harus mengerti kesulitan dua pihak tersebut. Belum lagi masih mencari titik tengahnya.

Butuh kesabaran, ketelatenan, komunikasi yang baik, mampu mengerucutkan masalah, problem solving yang baik. Ternyata rumit ya jadi jembatan ? wkwkwkwk

Cuma kadang-kadang kita lupa sama jasa jembatan ini. Main lewat aja. Tahu-tahu sampai tujuan. Jangankan hilang, ditutup kalau ada perbaikan aja kita sudah stress cari jalan lain kan.

Sama juga dengan peran “manusia jembatan” tadi. Kalau dia tiba-tiba hilang, atau lagi tidak merespon. Pasti kita bingung cari “jembatan” lain. Yang kualitasnya belum tentu sama baiknya. Dan belum tentu ada juga.

Semoga setelah membaca ini, kita coba ingat-ingat siapa saudara atau teman kita yang biasa jadi jembatan. Supaya sedikit bisa dihargai. Bersyukur punya  si “manusia jembatan”.

Dan saya lebih bersyukur lagi sebenarnya, karena hasil lamunan saya ternyata dibaca sampai habis..wkwkwk… terima kasih banyak !   




                                                                                                       sumber gambar : pinterest

 

Comments

Popular Letter